Senin, Januari 05, 2009

Gelar Akademik

Harga Gelar Akademik


Ada pandangan yang kontradiktif di masyarakat kita tentang gelar akademik. Tak sedikit yang berpendangan bahwa gelar akademik itu sama sekali tidak penting. Sesungguhnya, pandangan demikian bukan disebabkan oleh gelar itu sendiri, namun disebabkan banyaknya orang yang merasa kurang diuntungkan dari gelar akademis yang dimilikinya. Sampai-sampai, ada istilah “sarjana pengangguran”, “Sia-sia saja empat tahun bergelut dengan buku akhirnya susah mencari kerja”, kata Iwan Fals.
Namun di lain pihak, tak sedikit yang tetap berpandangan bahwa gelar itu sangat penting. Hampir semua iklan lowongan kerja yang dibuka untuk pasar umum menetapkan gelar atau sertifikasi akademik (kursus dan diploma) sebagai persyaratan. Lebih-lebih lagi untuk jabatan-jabatan yang berkaitan dengan posisi di pemerintahan.
Kenyataan yang mencerminkan pandangan kedua ini juga bisa kita lihat dari praktek hidup sehari-hari. Andaikan gelar itu tidak penting, tentu tak akan ada calon legislatif kita yang ditemukan aparat ternyata bergelar palsu (aspal). Andaikan gelar itu tidak penting tentu jumlah perguruan tinggi tidak sebanyak yang ada di negara kita ini.
Adanya pro-kontra pandangan demikian tentu bukanlah masalah bagi jalannya kehidupan secara umum. Semua orang sudah bisa memaklumi bahwa di dunia ini memang sudah sewajarnya harus terjadi pro dan kontra. Lalu, dimana letak masalahnya? Gelar akademik akan menjadi masalah jika diri kita bermasalah, seperti adanya konflik-konflik dalam diri yang akhirnya membatasi pemberdayaan-diri, pendidikan-diri, dan pembelajaran-diri kita.
Mental Kuat Vs Mental Lemah
Tentu saja, baik kita memilih antara gelar akademik itu penting atau tidak penting, keduanya jelas benar. Benar di sini punya pengertian memiliki data-data faktual di lapangan. Semudah kita menemukan orang bergelar atau tidak bergelar bisa berprestasi tinggi, semudah itu pula kita menemukan orang tak bergelar atau bergelar yang belum / tidak berprestasi tinggi. Kira-kira inilah kalau kita bicara kenyataannya secara umum.
Hanya saja, ketika kita bicara kenyataan spesifik dan kenyataan riil bagi setiap individu, persoalannya akan sedikit berbeda dan hal ini erat hubungannya dengan sikap mental. Ada 2 macam sikap mental, a) sikap mental lemah dan b) sikap mental kuat.
Sikap mental lemah, adalah ekspresi penyikapan yang dilandaskan pada kesimpulan kalah oleh realita, hanyut ke dalam realita. Sementara sikap mental kuat adalah ekspresi penyikapan yang dilandaskan pada kesimpulan menang, bergerak menginjak realita. Adakah orang yang sanggup mengalahkan realita? Tidak ada orang yang sanggup melawan realita. Tetapi, pengertian kalah di sini, adalah kegagalan kita menemukan bagian spesifik dari realita yang tepat untuk memberdayakan diri kita.
Mengapa kita perlu memilih sikap mental kuat dan memilih menjadi pemenang? Kenyataan itu, kata orang bijak adalah keragaman yang menyatu dengan keseragaman, perbedaan yang menyatu dengan persamaan, dan punya dimensi yang tak sanggup dirangkul kekuasaan apapun. Tetapi, kenyataan adalah potensi yang cukup cair sehingga oleh Samuel Butler dikatakan: “Hidup ini seni”, life is an art. Namanya seni, berarti sebagian besar keindahan sebuah kreasi lebih banyak ditentukan oleh sikap mental untuk menyentuh, bukan tergantung pada bahan baku. Batu bisa hanya sekedar menjadi batu tetapi bisa pula menjadi patung yang bernilai.
Perbedaan pola sikap mental yang kita gunakan dalam melihat kenyataan, akan menciptakan perbedaan kesimpulan mental (hasil makna) yang kita pahami. Perbedaan kesimpulan akan membedakan keputusan, dan perbedaan keputusan akan membedakan (rencana) tindakan, perbedaan tindakan akan membedakan kebiasaan dan perbedaan kebiasaan akan membedakan karakter (prilaku menghadapi hidup) dan perbedaan di tingkat karakter akan membedakan perbedaan tanggapan (feedback) yang dikeluarkan oleh kehidupan kepada kita. Mungkin inilah sedikit urut-urutan dari kesimpulan yang sering kita dengar bahwa: “Dunia di dalam, akan menentukan dunia di luar.” Nasib adalah pilihan, buka hadiah dari peluang.” “Man behind the gun.” “Jika kau mengubah dirimu akan berubah nasibmu.” Dan sejumlah ungkapan lain yang kira-kira punya arah kesimpulan senada.
Jadi, segala sesuatu banyak tergantung pada orangnya. Kata-kata “tergantung orangnya” ini menunjuk sikap mental (mental attitude), strategi yang kita pilih untuk menyikap hidup, jalan hidup yang kita gunakan untuk mendapatkan keinginan, dan seterusnya. “Hidup ini adalah pemainan”, kata firman kitab suci. “Separoh dari permainan hidup ini dimenangkan oleh sikap mental”, kata Danny Ozark (Half this game is 90 % mental). “Kemenangan para juara di lapangan itu (sepertinya) adalah kebiasaan dan gaya hidup. Celakanya demikian pula kekalahan”, kata kesaksian Vince Lombardi yang sudah bertahun-tahun hidup bersama para atlit.
Hubungannya dengan harga sebuah gelar yang kita miliki dan gelar yang tidak kita miliki adalah, harga sebuah gelar pada praktek hidup yang paling spesifik lebih banyak ditentukan bukan oleh angka yang melekat pada gelar itu, tetapi oleh bagaimana kita mengolahnya menjadi indah; ditentukan oleh sikap mental yang kita pilih untuk menyikapi realita yang pro-kontra terhadap gelar, atau bagaimana kita menjatuhkan kartu bermain dari kartu apapun yang sudah kita miliki. Mark Twin pernah bilang: “Hidup ini bukan persoalan kartu apa yang kita terima, tetapi kartu apa yang kita pilih untuk kita jatuhkan.”
Penting dan tidak pentingnya gelar itu bagi kita adalah pilihan, kebebasan dan kesimpulan pribadi. Tetapi yang perlu kita audit adalah untuk apa kesimpulan itu akan kita gunakan? Bergelar dan tidak bergelar akan sama saja tak banyak menolong kalau kita menggunakannya untuk mencari alasan yang hanya akan memperlemah diri (self excusing). Meminjam ungkapan Pak Bob Sadino, kesimpulan memperlemah ini akan membuat kita kehilangan momen untuk melakukan sesuatu, kehilangan daya kreatif, dan inovasi. Bisa jadi, kesimpulan ini juga berpotensi untuk memversikan Tuhan sebagai pihak yang selalu salah memberi sesuatu kepada kita.
Proses Belajar
Salah satu hukum yang pernah digagas oleh Aristotle sebelum meninggal adalah “The law of success” (Hukum Merealisasikan Tujuan Bertahap). Isinya adalah, apa yang menjadi keharusan bagi kita yang ingin merealisasikan tujuan itu? Di sini Aristotle merumuskan tiga hal inti yaitu: 1) kejelasan keinginan, 2) kejelasan alat yang kita pilih, 3) kejelasan sikap mental yang kita pilih. “Pertama kali memilikilah tujuan hidup yang jelas. Kedua, milikilah cara untuk mencapai tujuan. Cara itu beragam dan bisa anda pilih: materi, metodologi, uang, atau kepribadian. Ketiga, gunakan yang anda miliki untuk mencapi tujuan.”
Kalau formula itu akan kita gunakan untuk memberi angka-jual gelar akademik yang kita miliki atau tidak kita miliki, maka kuncinya adalah:
1. Ekspresi keinginan spesifik,
2. Kecocokan antara keinginan, alat dan hukum kebiasaan
3. Kreativitas menggunakan alat untuk mencapai keinginan.
Salah satu jurus yang bisa kita gunakan untuk mengeksplorasi keinginan yang benar-benar spesifik bagi kita adalah pertanyaan-diri (self-questioning), misalnya saja: “Apa yang bisa saya lakukan dengan apa yang sudah saya miliki dalam hidup ini, untuk memperbaiki diri ke arah yang lebih baik?”. Semakin banyak jawaban yang kita temukan akan semakin bagus sehingga kita memiliki banyak pilihan untuk menyusun langkah berdasarkan skala prioritas utama.
Merujuk pada formula ini berarti gelar atau tanpa gelar itu masuk dalam wilayah alat. Seperti dikatakan Aristotle sendiri, alat ini jelas bukan hanya itu, bukan satu, dan sebanyak pilihan kita kecuali kita membatasi pilihan itu. Dan yang penting, pilihan kita terhadap alat ini adalah kecocokan yang sifatnya sangat pribadi. “Orang akan mencapai kualitas tertentu kalau dia terus melakukan sesuatu dengan cara / jalan tertentu”, begitu Aristotle menambahkan.
Karena kepemilikan gelar akademik ini sebagian besar lebih ditentukan oleh hasil penilaian pribadi kita, maka kreativitas menjadi sangat dibutuhkan. Meskipun kita adalah makhluk yang unggul, tetapi jika penilaian kita atas diri kita tidak menghasilkan kesimpulan yang berarti, maka hampir dipastikan kita menghadapi kenyataan yang sama dengan penilaian kita terhadap diri sendiri. Robert Kiyosaki menyimpulkan bahwa kegagalan itu akan menghancurkan orang kalah (loser) tetapi akan memberi inspirasi maju bagi orang menang (winner). Kesimpulan ini tentu tak akan jauh dari sikap mental kuat, kemampuan mengolah apa yang sudah kita miliki dan bagaimana menggunakan apa yang kita miliki untuk mencapai apa yang kita inginkan. Semoga bermanfaat.

Sebab & Akibat

Antara Sebab & Akibat

Bagian dari pasal Hukum Alam ini berbunyi kurang lebih sebagai berikut: "Semua peristiwa diciptakan oleh penyebab (the cause) atau kalau dibalik: peristiwa hanyalah hasil/akibat (effect)". Sampai pada pengertian ini tidak ada yang merasa sulit memahaminya. Tetapi ketika dikaitkan dengan diri kita dan realita hidup yang kita terima, barulah menjadi persoalan tersendiri. Konon Mark Victor Hansen, pengarang buku berseri Chicken Soap for the Soul harus memutar pertanyaan antara "are you the cause or the effect?" sebanyak 287 (dua ratus delapan puluh tujuh) kali untuk memastikan pilihan setelah mengalami kebangkrutan bisnis secara total yang memaksanya hidup menggelandang. Ia akhirnya memilih bahwa semua peristiwa hidup (realita) adalah ‘effect’ dan dirinyalah ‘the cause’ itu. Karena Mark yakin bahwa masih banyak individu yang berpikir sebaliknya, maka ia menuangkan pikiran-pikirannya dalam buku tersebut diatas. Karya Mark telah menjadi best seller dan mengantarkannya menerima piala Horatio Alger Award.
Tak syak lagi, kalau kita amati sebenarnya problem hidup Mark adalah representasi dari problem besar umat manusia terlepas apakah hal itu disadari atau tidak sama sekali. Problem tersebut terletak pada penyikapan pilihan. Ada yang memilih bahwa realita yang dihadapi adalah penyebab mengapa dirinya menjadi seperti sekarang ini. Tak terhitung jumlah kejahatan dalam berita TV dari mulai level kecil sampai besar yang diakui oleh pelakunya karena ‘dipaksa’ oleh keadaan. Ungkapan dipaksa dalam berbagai variasinya merupakan indikator bahwa individu tersebut sebenarnya menjadi korban (effect).
Pilihan
Memang tidak akan ada lembaga pengadilan manapun yang memveto hukuman atas pilihan kita antara sebagai the cause atau the effect. Tetapi pilihan kita menciptakan konsekuensi yang sangat membedakan. Kalau kita memilih sebagai the effect, maka penyikapan hidup yang paling dekat adalah adanya resistensi untuk mengubah diri dan berarti telah melawan pasal hukum alam lain lagi bahwa semua kemampuan aktif manusia diperoleh dengan cara menjalani proses pembelajaran (baca: mengubah diri dari ketidakmampuan masa lalu menjadi kemampuan baru). Lebih sering lagi, kesadaran sebagai the effect mudah menyulut kita untuk menyalahkan orang lain dan keadaan ketika effect yang kita terima tidak sesuai dengan keinginan atau yang diharapkan.
Sementara dengan memilih sebagai the cause, optimalisasi dan kontrol berada di tangan kita. Di level pengetahuan, rasanya tidak sulit menebak kalau dikatakan semua orang ingin menjadi the cause bagi dirinya. Tetapi yang dibutuhkan bukan sekedar mengetahui melainkan apa yang disebut oleh Mark dengan “Awakening Call”, sebuah kesadaran baru adanya panggilan untuk mengubah diri dari the effect ke the cause. Kesadaran baru demikian bukanlah anugerah melainkan murni proses pencapaian yang dibarengi dengan menyingkirkan benda-benda yang tidak kita butuhkan tetapi kita abadikan di dalam sehingga benda tersebut benar-benar menjadi penghalang transformasi.
Membiarkan
Salah satu penghalang transformasi kesadaran adalah tembok yang sering diistilah dengan sebutan “Self-excusing”. Dari pendapat para pakar ditemukan perbedaan mendasar antara self excusing dengan self-forgiving meskipun sama-sama punya arti literal ‘memaafkan’. Self excusing adalah membiarkan diri anda tak terurusi (letting yourself down), sementara self-forgiving adalah memaafkan dalam arti mengakui kesalahan dan bergerak (moving & acknowledging) untuk membenarkannya (Frank Gilbert: 1999). Dengan kata lain, self-excusing adalah penyikapan yang kurang gagah menghadapi diri atau rasa tidak percaya diri (low self confidence) mulai dari domain cara pikir (mindset) sampai ke tindakan. Umumnya kita lebih terfokus untuk memasang mekanisme penyerangan agar bisa lebih gagah menghadapi orang lain dan sebaliknya menghadapi diri sendiri sering membuat kita minder. Jadi telah terjadi pemutarbalikan fungsi kegagahan.
Mekanisme self-excusing diungkapkan melalui berbagai macam bentuk mulai dari pemikiran, perasaan, keyakinan, dan tindakan. Sebagian di antaranya dapat disebutkan di sini:
1. Pembenaran Diri
Keinginan kita untuk berubah terhalang oleh keyakinan atas kebenaran sendiri yang berlawaan dengan kebenaran universal (the universal principles). Jika kita meyakini kalau tidak melanggar aturan kita tidak akan hidup maka keyakinan demikian akan membuat kita menjadi korban karena keyakinan itulah yang akan menjadi realita hidup. Padahal peristiwa yang sebenarnya terjadi adalah murni masalah model penyikapan yang kita pilih.
2. Penipuan Diri
Transformasi kesadaan dari the effect ke the cause juga dihalangi oleh mekanisme ‘politicking’ atau menipu diri secara halus. Contoh yang sering dibuktikan oleh realita adalah kemandirian orang cacat (maaf, misalnya orang buta) yang menolak menipu-diri dengan menjalani profesi tertentu seperti ahli pijat, tokoh masyarakat. Logikanya, kalau ada orang cacat fisik bisa mandiri berarti tidak akan ada orang normal yang tidak bisa hidup mandiri. Tetapi kenyataan yang terjadi tidak demikian. Mandiri dan tidak mandiri tidak ada hubungan mutlak dengan kenormalan fisik tetapi berhubungan dengan kualitas menolak politiciking. Memanjakan diri juga sering menjebak kita pada praktek politicking di mana kita merasa tidak mampu mengoptimalkan potensi.
3. Perbandingan
Mekanisme perbandingan yang sering menghalangi transformasi adalah perbandingan dalam hal negatif. Begitu kita membandingkan dengan sisi kelemahan/kejelekan orang lain, maka yang muncul adalah semangat untuk membiarkan diri . Perbandingan yang dianjurkan adalah membandingkan keunggulan orang lain dengan diri kita untuk dipelajari. Atau dalam bisnis dikenal dengan istilah kompetisi, bukan kongkurensi
4. Kerelaan Menjadi Korban
Mekanisme yang biasa kita terapkan untuk merelakan-diri adalah menuding orang lain atau keadaan sebagai penyebab yang menghalangi kita menjadi the cause atas diri kita. Biasanya kerelaan ini disebabkan oleh kesalahan membuat kalkulasi ukuran diri dan ukuran masalah yang kita hadapi atau ketidakmampuan mengambil keputusan berdasarkan fakta aktual tentang diri kita (who are we?).
5. Penolakan Tanggung Jawab
Mekanisme menolak adalah pembatas yang kita ciptakan sendiri atau kesengajaan untuk menghentikan perjalanan proses transformasi di dalam diri yang umumnya tidak kita sadari. “Orang miskin seperti saya mana mungkin bisa menjadi kaya”. Ungkapan demikian adalah pernyataan-diri bahwa kita dengan demikian tidak dikenai tanggung jawab untuk mengubahnya dan melemparkan tanggung jawab ini kepada orang lain yang kita anggap harus bertanggung jawab.
6. Penolakan Konsekuensi
Apapun yang kita pilih akan melahirkan konsekuensi tertentu yang apabila kita terima dengan pengakuan dan pemahaman akan mendekatkan jarak transformasi dari the effect ke the cause. Tetapi, umumnya kita menciptakan pilihan dan menolak konsekuensi yang muncul kemudian. Kalau kita memilih tidak mau mengembangkan diri, mestinya secara rasional kita merelakan diri dengan konsekuensi ketinggalan, bukan menyalahkan orang lain yang lebih maju. Dengan menolak berarti memperlambat proses transformasi.
7. Kebrutalan
Kebrutalan (dehumanization) adalah mekanisme menolak kebenaran yang diyakini. Orang bisa bertindak brutal kalau dirinya mengunci hati, pendengaran dan penglihatan. Bahkan kebrutalan tersebut akan semakin menjadi-jadi ketika tidak secara cepat dilakukan upaya menarik diri. Mekanisme demikian jelas akan menghalangi proses transformasi kesadaran dari the effect ke the cause.
Evolusi Diri
Self-excusing yang menghalangi kita menyadari sebagai the cause dari realita yang kita terima saat ini merupakan produk yang dihasilkan oleh sejumlah pilihan yang berlangsung sejak kecil tepatnya usia remaja di mana kita baru mulai bersentuhan dengan konflik. Dapat dipastikan, kebanyakan orang memiliki ketujuh hambatan di atas atau lebih, tetapi yang membedakan adalah kandungan kadarnya. Untuk menentukan jumlah kadar yang terberat dibutuhkan penemuan terhadap prinsip hidup (pendirian), nilai/keyakinan, cita-cita yang telah dirumuskan ke dalam tujuan hidup dan posisi di mana kita berada saat ini. Perubahan diri yang tidak diberangkatkan pada aspek kedirian yang mendasar seringkali kalah oleh virus kehidupan yang membuat keinginan berubah dari the effect ke the cause menjadi keinginan umum yang tidak punya nyali.
Adapun alasan mengapa lebih tepat memilih jurus evolusi ketimbang revolusi adalah karena perubahan diri identik dengan perubahan nasib (peristiwa yang secara sirkulatif/repetitif terjadi). Untuk mengubah nasib memang di atas kertas putih membutuhkan dunia baru tetapi pada prakteknya kenyataan sering menunjukkan bahwa hal tersebut tidak membutuhkan perubahan peristiwa eksternal. Mungkin lebih tepat kalau dikatakan, dunia baru dibutuhkan tetapi bukan syarat mutlak kalau memang tidak bisa dilakukan sekarang ini, tetapi yang mutlak dibutuhkan adalah diri yang baru (sikap, pola pikir dan perilaku baru).
Langkah evolutif yang dapat kita jalankan untuk mengubah diri (menjalankan transformasi kesadaran) adalah:
1. Menyadari
Orang akan tetap mempertahankan diri meskipun salah, jika dirinya tidak sadar bahwa kesalahan itu memang benar-benar salah. Teori manajemen menjelaskan, perubahan harus diawali dengan proses kesadaran membuat identifikasi tentang apa/bagian mana yang kita inginkan untuk diubah dan mengapa perubahan tersebut kita inginkan (baca: alasan paling mengakar). Dalam hal ini perlu kita ingat bahwa kesadaran tersebut harus menyatakan keinginan bukan ketakutan. Jika ini yang terjadi maka yang diketahui seseorang hanyalah bagaimana menghindari kegagalan, bukan meraih kesuksesan.
2. Mengganti
Apa yang telah kita sadari untuk diubah itulah yang harus kita ganti. Begitu kita menyadari adanya godaan untuk menggunakan kebenaran sendiri, segera kita ganti dengan lawannya. Tehnik lain adalah dengan cara challenging (menantang) bahwa kita melawan bentuk keyakinan, pemikiran, dan perasan yang kita yakini salah. Tehnik lain lagi adalah membuat affirmasi secara berulang-ulang (baca: metode dzikir) ketika kesadaran muncul saat dialog-diri berlangsung. Ketiga tehnik ini dapat mempertebal kualitas, apa yang sering disebut ‘the moment of truth’ atau ‘critical accident’ di mana kita memiliki ‘personal picture’ yang lebih jelas seperti yang kita inginkan atau cara pendekatan yang lebih gamblang bagaimana mengubah diri.
3. Mengintrospeksi
Untuk mendeteksi sejauhmana stabilitas transformasi telah berlangsung, maka kita membutuhkan intropeksi. Di sini yang kita lakukan adalah membuat penilaian apa yang sudah diraih dan apalagi yang perlu untuk dilakukan. Di samping itu instropeksi juga berguna untuk mendeteksi kadar self-excusing yang bisa jadi masih tetap bercokol dalam diri kita hanya gara-gara lupa membuat elaborasi, analogi, atau interpretasi dalam memahami dan melaksanakan. Misalnya saja politicking. Kalau praktek yang kita rekam sejelas perbedaan antara orang buta yang mandiri dan orang normal yang tidak mandiri, pikiran kita bisa langsung paham tetapi bagaimana dengan mentalitas ‘begging’ (baca: meminta-minta, bukan meminta) yang di-politicking? Memang diperlukan pengakuan yang jujur untuk berani mengatakan kitalah yang menjadi penyebab ‘nasib’ kita hari ini. Selamat memilih.